Selamat Datang di Blog Paroki Lubang Buaya Gereja Kalvari dan Gereja Sta. Catharina - Jakarta Timur
Dekanat Bekasi - Keuskupan Agung Jakarta

22 April 2017

SURAT GEMBALA HARI BUMI 2017





MEMPERINGATI Hari Bumi 2017 yang jatuh pada Sabtu, 22 April 2017, Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengeluarkan surat gembala bertajuk “Merawat Bumi–Menabur Damai Sejahtera”. Surat gembala ini disampaikan sebagai pengganti khotbah dalam Misa Sabtu-Minggu, 22-23 April 2017. Berikut salinannya:




Para Ibu dan Bapak, Suster, Bruder, Frater,
Kaum Muda, Remaja dan Anak-anak yang terkasih dalam Kristus,

Pertama, pada 22 April ini diperingati Hari Bumi Sedunia. Seperti halnya hari-hari peringatan yang lain, Hari Bumi dijadikan tradisi karena banyak orang, termasuk kita, sering lupa akan keadaan bumi ini. Tradisi yang dimulai tahun 1970 ini mau mengingatkan kita agar kita sadar bahwa keadaan bumi kita semakin memprihatinkan. Memang, sejak tahun 1970-an kesadaran manusia akan keadaan bumi mulai muncul, tumbuh, dan berkembang. Mula-mula disadari bahwa lingkungan sekitar kita, atau yang biasa disebut biosfer, makin rusak. Tanah, air, dan udara terkena polusi. Bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia juga makin banyak, seperti penggundulan hutan yang berakibat banjir, tanah-longsor dan bencana alam yang lain. Banyak data dan berita tentang hal ini bisa kita dapatkan dari media massa.

Kedua, kesadaran itu makin menguat ketika kerusakan bumi tidak hanya terjadi pada lapisan biosfer, melainkan juga pada lapisan troposfer, yaitu kira-kira 10-15 kilometer di atas bumi. Pada lapisan ini, terjadi penumpukan emisi karbon yang menyebabkan gejala yang disebut sebagai “efek rumah kaca”. Panas matahari yang terpantul dari bumi terperangkap di lapisan ini dan membuat bumi makin panas. Diperkirakan dalam 100 tahun terakhir ini, suhu bumi naik rata-rata 0,2 derajat Celcius. Tampaknya kecil, tetapi dampaknya besar. Inilah yang disebut pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim. Bukan hanya itu, banyak dampak negatif dialami penghuni bumi karena hal ini, dari banjir, kekeringan, kelaparan, naiknya air laut, dan munculnya beberapa penyakit baru.

Ketiga, seiring dengan itu, makin disadari pula bahwa kerusakan juga terjadi pada lapisan yang lebih tinggi, yaitu lapisan stratosfer, kira-kira 30 kilometer di atas bumi. Pada lapisan ini, lapisan ozon, yang berfungsi menyaring sinar matahari, berlubang sangat besar. Lapisan ozon itu tercemar oleh berbagai bahan kimia yang menguap dari bumi, seperti misalnya gas chlorofluorocarbon (CFC), yang antara lain berasal dari alat pendingin udara (AC) rumah-rumah kita. Karena sudah terjadi dalam waktu yang sangat lama, lapisan ozon berlubang dan sebagian sinar matahari yang tidak baik untuk kehidupan, ikut masuk ke dalam bumi. Salah satu dampaknya adalah makin mudahnya orang terkena kanker kulit. Begitulah, kondisi bumi makin buruk dari segala sisi. Kerusakan bumi dengan segala macam sebab dan wujudnya membuat semakin banyak manusia menderita, terlebih saudari-saudara kita yang lemah dan miskin papa.

Keempat, semua itu tentu mengusik nurani kita. Meminjam istilah para ahli antarbangsa yang tergabung dalam Panel Perubahan Iklim, bencana itu bersifat anthropogenik. Artinya, faktor kesalahan manusia menjadi sebab yang utama. Karena itu, langsung atau tidak langsung kita pun ikut bertanggung jawab dalam kerusakan bumi ini. Dengan tulus, kita mesti mengakui bahwa perilaku kita atau sikap kita terhadap bumi belum sungguh adil dan beradab.

Kelima, jika ditelusur lebih jauh, akar masalahnya adalah keserakahan manusia. Manusia tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Manusia cenderung menumpuk harta dengan mengeruk kekayaan bumi, seringkali tanpa peduli dengan akibatnya. Hal ini tidak hanya tampak pada manusia sebagai pribadi, tetapi juga jelas dalam lembaga ekonomi yang cenderung mencari untung sebanyak-banyaknya; juga dalam negara yang aturan hukum dan penerapannya belum sungguh ramah lingkungan. Menurut Bapa Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ yang dikeluarkan pada 2015, dengan keserakahannya manusia “mau menggantikan tempat Allah dan dengan demikian, akhirnya membangkitkan pemberontakan alam” (no.117). Sementara menurut Rasul Paulus, keserakahan berarti penyembahan berhala (Ef 5:5).

Keenam, seruan Bapa Paus Fransiskus ini dapat kita renungkan secara lebih khusus, ketika kita masih berada dalam masa Paskah. Kita masih ingat dengan jelas bahwa bacaan pertama dalam Misa Malam Paskah diambil dari Kitab Kejadian yang berkisah tentang penciptaan. Dalam bacaan itu, tidak hanya dikisahkan bahwa semua diciptakan baik adanya, melainkan juga bahwa setiap makhluk dan setiap ciptaan saling berhubungan, bahkan saling tergantung. Yang satu mendukung kehidupan lain. Sementara manusia diciptakan untuk “mengusahakan dan memelihara taman” (Kej 2:15); artinya memelihara dan menjaga bumi seisinya.

Ketujuh, bacaan pertama hari ini pun–Hari Minggu Kedua Masa Paskah–memberi inspirasi yang sangat berarti. Dikisahkan bagaimana para murid Yesus, setelah ditinggalkan Yesus, memberi kesaksian kepada banyak orang tentang semangat berbagi. Dikatakan bahwa “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing” (Kis 2:44). Artinya, para murid, dengan mengikuti semangat Yesus, mau menolak keserakahan. Mereka tidak menumpuk harta untuk dirinya sendiri, melainkan menggunakannya untuk kepentingan sesama dengan berbagi.

Semangat berbagi itu bukan hanya berarti bahwa yang kaya membantu yang miskin. Dalam semangat berbagi, tercermin kesadaran bahwa kita tidak bisa hidup sendiri. Bahkan lebih dari itu, kita hidup saling tergantung. Yang satu menghidupi yang lain. Dalam arti itu, kita memahami damai sejahtera yang dibawa Yesus dengan kebangkitan-Nya (bdk. Yoh 20:21).

Kesadaran ini tentu mengingatkan kita juga agar dalam mengelola kekayaan bumi, kita mengingat sesama, termasuk generasi yang akan datang, serta segala makhluk ciptaan yang ada di atas bumi ini. Dari dunia biologi, kita belajar bagaimana setiap ciptaan Tuhan mempunyai perannya masing-masing dan manusia mempunyai peranan yang menentukan. Jika manusia tidak menjalankan tanggung jawabnya untuk memelihara bumi, pada akhirnya bumi akan punah.

Semangat untuk menjaga dan memelihara bumi seharusnya menjadi lebih menggelora lagi dengan semangat Paskah. Paskah menghadirkan kembali peristiwa ketika umat Allah dibebaskan dari tanah perbudakan dan dituntun ke tanah terjanji. Paskah Kristus membebaskan manusia lama yang diperbudak dosa dan menjadikannya manusia baru yang digerakkan oleh kasih. Dengan merayakan Paskah, kita diajak untuk membiarkan diri kita dibebaskan dari keserakahan dalam segala bentuknya dan membiarkan diri kita dipimpin oleh kasih untuk semakin rela berbagi dalam arti yang seluas-luasnya. Memang tidak mudah membebaskan diri dari kecenderungan serakah. Memang tidak mudah memelihara bumi dan menjaga kebersamaan. Tetapi, itulah yang dimaksud St Petrus kalau ia menulis, “Bergembiralah akan hal itu … Semuanya itu dimaksudkan untuk membuktikan kemurnian imanmu–yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana ….” (1Ptr 1:7). Tugas atau perutusan kita sekarang adalah terus membagikan semangat kegembiraan Paskah itu kepada segala makhluk di atas bumi, agar semua hidup sesuai dengan kehendak Bapa Sumber Kehidupan. Dengan saling berbagi kehidupan dan kegembiraan, akan ada damai sejahtera di atas bumi ini.(radarindo.com)





Saudari-saudara yang terkasih,
Kedelapan, bagaimana semangat kegembiraan dan pembaruan Paskah itu kita bagikan secara nyata bagi sesama dan seluruh ciptaan Allah di atas bumi? Kita sudah memulainya, misalnya dengan gerakan menaruh sampah pada tempatnya, gerakan mengurangi pemakaian plastik dan styrofoam, gerakan membuat lubang resapan biopori, gerakan silih ekologis, dan sebagainya. Hal itu perlu terus dilakukan dalam berbagai kegiatan, supaya sungguh menjadi perwujudan iman yang hidup, bukan hanya menjadi kegiatan sekali-sekali saja. Harapan kita dengan demikian akan tumbuh dan berkembang “habitus baru” yang lebih ramah pada bumi dan perubahan sikap dan perilaku pribadi maupun lembaga, seperti paroki, biara, sekolah dan juga perusahaan atau usaha ekonomi yang kita miliki.

Selain itu, perlu terus dibangun kerjasama dengan saudari-saudara kita yang mempunyai keprihatinan yang sama. Kerjasama ini menjadi sangat penting agar gerakan peduli bumi terus meluas dan bisa menjadi kepedulian seluruh manusia di atas bumi ini. Kerjasama ini bisa dilakukan oleh lembaga keuskupan, lembaga sekolah, paroki, dan bahkan Lingkungan yang bekerjasama dengan RT/RW.

Yang penting diperhatikan adalah bahwa kita harus mulai dari diri sendiri, tanpa ditunda-tunda lagi, mewujudkan kepedulian pada bumi ini. Tindakan-tindakan kecil yang kelihatan sederhana seperti yang sudah disebutkan akan mengubah dan membarui hati kita. Dan kalau tindakan-tindakan itu terus-menerus ditularkan kepada kelompok dan lingkungan masyarakat yang lebih besar, akan berdampak besar juga. Mari kita selalu berpegang pada pengharapan Paskah sehingga tidak bersikap pesimis dalam melakukan upaya-upaya kecil itu.

Kesembilan, akhirnya tidak lupa kita ucapkan banyak terimakasih kepada banyak pribadi dan kelompok yang telah berpartisipasi aktif menumbuhkan kepedulian ini pada masyarakat. Terima kasih pula atas berbagai peran Ibu/Bapak/Suster/Bruder/Imam dan Frater, Kaum Muda, Remaja serta Anak-anak dalam kehidupan Gereja Keuskupan Agung Jakarta yang kita cintai bersama, terutama dalam mewujudkan damai sejahtera di atas bumi ini. Khususnya dalam rasa syukur bertepatan dengan 210 tahun kehadiran Gereja Katolik di Jakarta ini, mari terus mengupayakan kepedulian kita pada bumi sehingga kehadiran Gereja sungguh menjadi berkat pada dunia. Mari kita cintai Tuhan dengan mencintai sesama. Dan, mari kita cintai sesama dengan mencintai bumi seisinya. Berkat Tuhan selalu menyertai kita semua, keluarga-keluarga dan komunitas kita. Semoga pula Bunda Maria selalu mendoakan kita.