(Disampaikan sebagai pengganti khotbah, pada Perayaan Ekaristi Sabtu/Minggu, 10/11 Februari 2018)
Para Ibu dan Bapak,
Suster, Bruder, Frater,
Kaum muda, remaja dan anak-anak yang terkasih dalam Kristus
1. Bersama
dengan seluruh Gereja, pada hari Rabu 14 Februari 2018 yang akan datang, kita
akan memasuki masa Prapaskah. Kita semua tahu bahwa Prapaskah adalah masa penuh
rahmat, masa dan kesempatan bagi kita untuk lebih membuka hati kepada Tuhan
yang selalu menyertai, membimbing serta menguatkan kita. Sebagai wujud
keterbukaan hati kita kepada Tuhan, dalam masa ini kita diajak untuk semakin
peduli kepada sesama, khususnya yang menderita, seperti selalu dicontohkan oleh
Yesus. Membuka hati menjadi amat penting dalam hidup kita sehingga kita dapat
semakin memahami sapaan-Nya dalam peristiwa dan pengalaman yang melintas dalam hidup
kita. Sikap peduli pun menjadi semakin penting agar iman kita tidak mati.
Itulah sebenarnya makna pertobatan kita.
2. Pada
tahun ini kita memasuki masa Prapaskah ketika kita menjalani Tahun Persatuan
dengan semboyan “Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita Indonesia”. Saya ingin
menggarisbawahi gagasan pokok Surat Gembala menyambut Tahun Persatuan yang
sudah saya sampaikan pada tanggal 6/7 Januari 2018 yang lalu. Kita ingin
memaknai pengalaman hidup kita, khususnya dalam konteks kesatuan dan kebhinekaan
bangsa kita, sebagai karya Allah. Kita bersyukur karena Tuhan menyapa kita juga
melalui pengalaman keragaman berbangsa. Keragaman itu tercermin antara lain
dalam angka-angka ini: Negara dan Bangsa Indonesia terdiri dari 17.504 pulau,
1.340 suku bangsa dan 546 bahasa. Kendati begitu beragam, kita adalah satu
nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Kita hidup dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai rumah kita bersama. Kesatuan dan sekaligus keragaman ini kita
syukuri antara lain dalam Doa Prefasi Tanah Air: “Berkat jasa begitu banyak
tokoh pahlawan, Engkau menumbuhkan kesadaran kami sebagai bangsa, … kami
bersyukur atas bahasa yang mempersatukan, … dan atas Pancasila dasar
kemerdekaan kami”. Sebagai bangsa yang beragam kita mempunyai cita-cita yang
sama, yaitu mewujudkan negara yang berketuhanan, adil dan beradab, bersatu,
berhikmat dan bijaksana serta damai dan sejahtera.
3. Di
lain pihak, kita tidak bisa menutup mata terhadap peristiwa-peristiwa yang
menjauhkan kita dari cita-cita sebagai bangsa. Secara khusus berkaitan dengan
cita-cita Persatuan Indonesia, kita menyaksikan perbedaan yang seharusnya
menjadi rahmat, seringkali justru tampak sebagai penghambat. Salah satu
penelitian (Wahid Foundation bekerjasama dengan Lembaga Survei Indonesia, April
2016) menunjukkan bahwa 59,9% dari responden yang diminta tanggapannya,
memiliki kelompok yang dibenci. Kalau benar demikian, bukan persatuan dalam
kebhinekaan yang tumbuh, tetapi kebencian yang menjadi wajah masyarakat kita.
Penelitian lain (CSIS, Agustus 2017) menyatakan bahwa generasi muda (usia 17-29
tahun di 34 provinsi) menyatakan optimis mengenai masa depan Indonesia: 26,9%
sangat optimis, 62,3% cukup optimis. Mereka juga tidak setuju (52%) atau kurang
setuju (32%) mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Namun dalam penelitian
yang sama diungkap bahwa 58,4% tidak menerima pemimpin yang berbeda agama.
Angka-angka itu menunjukkan ada sesuatu yang tidak baik, tidak ideal dalam
hidup kita sebagai bangsa. Dalam kenyataan seperti itulah kita dituntut oleh
iman kita untuk peduli. Kita ingin mewujudkan kepedulian dengan terus-menerus
berusaha mengamalkan Pancasila. Kita ingin mengubah tantangan-tantangan ini
menjadi kesempatan untuk mewujudkan iman dengan melakukan gerakan-gerakan
nyata, mulai dari yang paling sederhana. Ketika kesatuan dan kebhinekaan kita
syukuri, kita rawat, kita jaga, dan kita tumbuh kembangkan, akan semakin
nyatalah kehadiran Kerajaan Allah – kerajaan kebenaran, keadilan, cita kasih
dan damai sejahtera – di tengah-tengah masyarakat kita.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
4. Datang
dan hadirnya Kerajaan Allah ini pulalah yang dimaklumkan oleh Yesus dalam
tindakan-Nya menyembuhkan dan menyatakan orang kusta tahir, sebagaimana
dimaklumkan dalam bacaan Injil hari ini (Mrk 1:40-45). Di balik peristiwa ini
tersembunyi kehidupan bersama sebagai bangsa, atau mungkin lebih tepat sebagai
umat Allah, yang tidak baik dan tidak ideal pula. Memang benar menurut
peraturan yang berlaku pada waktu itu, orang kusta harus diperlakukan seperti
yang tergambar dalam bacaan pertama yang diambil dari Kitab Imamat
(13:1-2.44-46). Tetapi ketika sembuh, seharusnya dia juga dinyatakan “tahir”
oleh yang berwenang menyatakannya, yaitu para imam. Dengan dinyatakan tahir,
orang yang sembuh dari kusta dapat masuk lagi ke dalam masyarakat, merayakan
ibadah dan menerima hak-haknya sebagai warga masyarakat. Tetapi rupanya menurut
kisah Injil hari ini, mereka yang berwenang menyatakan tahir tidak begitu saja
mau melakukan kewajibannya. Oleh karena itu orang kusta itu berkata kepada Yesus,
“Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku” (ay 40). Keadaan masyarakat
seperti itulah – para pemimpin agama yang tidak menjalankan peranannya dengan
baik dan benar – yang membuat hati Yesus tergerak oleh belas kasihan lalu
mengulurkan tangan-Nya, menyembuhkan dan menyatakan orang kusta itu tahir (ay
41-42). Dengan tindakan-Nya itu, Kerajaan Allah yang Ia wartakan – kerajaan
kebenaran, keadilan, cinta kasih dan damai sejahtera – menunjukkan wajahnya.
5. Kembali
kepada tema tahun persatuan 2018, “Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka, Kita
Indonesia”. Kita berharap semoga masa Prapaskah ini menjadi kesempatan istimewa
bagi kita untuk makin mampu memahami kehendak Allah bagi bangsa kita, khususnya
terkait dengan kesatuan dan keragaman bangsa kita. Semoga kita makin mampu
mengalami dan merasakan kehadiran-Nya yang menyelamatkan dan kita dikuatkan
dalam upaya merawat dan menjaga persatuan dalam kebhinekaan kita dalam upaya
menghadirkan Kerajaan Allah di tengah masyarakat kita. Untuk itu banyak program
ditawarkan oleh Panitia Penggerak Tahun Persatuan di lingkungan, paroki,
sekolah, dan komunitas-komunitas yang dapat langsung dijalankan, misalnya :
menyanyikan lagu “Kita Bhineka – Kita Indonesia”, mendaraskan Doa Tahun
Persatuan, mengadakan kenduri paroki, buka puasa bersama, piknik kebangsaan
mengunjungi tempat bersejarah nasional dan banyak hal lain yang terdapat dalam
buku “Pedoman Karya dan Inspirasi Gerakan Pastoral-Evangelisasi Tahun Persatuan
Keuskupan Agung Jakarta”. Terbuka lebar pula kemungkinan untuk upaya-upaya lain
sesuai kebutuhan setempat. Yang penting, kita berusaha untuk mempererat
persaudaraan dalam masyarakat, tanpa membedakan agama, suku, etnis, dan
perbedaan-perbedaan yang lain. Kita lakukan usaha itu mulai dari lingkup RT/RW
secara berkesinambungan. Harapannya, dalam upaya yang berkesinambungan dan
saling terkait, usaha-usaha kita membangun persatuan dalam keragaman akan
berbuah dalam wujud habitus dan budaya yang baru. Ketika habitus dan budaya
baru bertumbuh dan berkembang, bertumbuh dan berkembang pulalah Kerajaan Allah
– kerajaan kebenaran, keadilan, cinta kasih dan damai sejahtera.
Saudari-saudaraku yang terkasih,
6. Seperti
biasa, untuk membantu kita mengisi masa Prapaskah telah disediakan berbagai
bahan pertemuan. Bahan-bahan itu diharapkan dapat membantu kita untuk semakin
membuka hati kepada Allah dan peduli kepada sesama kita. Semoga
pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan dengan bahan-bahan yang disediakan,
menjadi kesempatan bagi kita murid-murid Kristus yang juga beragam, untuk semakin
sempurna menjadi satu “agar dunia tahu” bahwa kita adalah murid-murid Kristus
(bdk. Yoh 13:35; 17:23). Ketika hidup kita sebagai murid-murid Yesus semakin
diwarnai kasih dan persaudaraan yang tulus, kehadiran kita di tengah masyarakat
akan menjadi kesaksian yang berdaya. Bahan-bahan yang direnungkan akan membantu
kita untuk semakin membuka hati kepada Allah dan mengasah kepeduliaan kita yang
kita wujudkan antara lain dengan pengumpulan derma dan aksi nyata sesederhana
atau sekecil apa pun. Kita ingin melakukan semua itu “demi kemuliaan Allah” (1
Kor 10:31). Dengan cara ini kita juga berharap agar Kerajaan Allah – kerajaan
kebenaran, keadilan, cinta kasih dan damai sejahtera – semakin menunjukkan
wajahnya di tengah-tengah kita.
7. Akhirnya,
segala yang sudah dan akan kita rencanakan dan lakukan untuk merawat dan
menjaga kebhinekaan dan kesatuan, marilah kita lakukan “demi kemuliaan Tuhan”
(1 Kor 10:31). Terima kasih untuk berbagai keterlibatan para Ibu/Bapak,
Suster/Bruder/Frater, kaum muda dan anak-anak sekalian dalam perutusan
Keuskupan Agung Jakarta. Semoga segala pengorbanan dalam keterlibatan itu
menjadi sumber kegembiraan kita karena boleh terlibat dalam karya kasih Tuhan.
Selamat memasuki masa Prapaskah. Berkat Tuhan untuk Anda sekalian,
keluarga dan komunitas Anda. Salam persatuan dalam kebhinekaan.
Jakarta, 9 Februari 2018
† I. Suharyo
Uskup Keuskupan Agung Jakarta